Peran dan Tanggung Jawab Profesional Pustakawan Sebagai Pengelola Sumber Informasi



Globalisasi


Salah satu dampak atau hasil dari kemajuan TK dan TI yang semakin pesat dewasa ini adalah terjadinya arus globalisasi, yakni arus perubahan dari yang semula berdimensi ruang dan waktu, menjadi tanpa dimensi ruang dan waktu, dari yang semula bersifat tersembunyi dan terbatas menjadi terbuka dan transparan, dari yang semula bersifat terlindungi menjadi terbuka untuk persaingan bebas, dari yang semula bersifat lokal atau spasial menjadi bersifat global. Hal ini juga berlaku dalam pengelolaan dan pelayanan informasi, termasuk pemberdayaannya. Jika semula seorang calon sarjana dapat mengatakan bahwa kepustakaan tentang sesuatu yang akan ditulisnya sebagai tesis itu belum ada, karena tidak bisa diketemukan di sejumlah perpustakaan setempat yang ia kunjungi, maka dengan TK dan TI, para penguji sang calon sarjana dapat dengan mudah menunjukkan tersedianya kepustakaan itu di perpustakaan lain, baik perpustakaan yang berdinding (fisik konkrit), maupun perpustakaan tanpa dinding – atau perpustakaan maya (virtual) – di internet. Jika semula pengguna atau pengunjung perpustakaan merasa puas dan mengatakan “apa boleh buat” ketika mendapati kenyataan bahwa kepustakaan yang dicarinya tidak diketemukan, maka sekarang pengguna atau pengunjung perpustakaan dapat menuntut untuk dicarikan pada perpustakaan lain, termasuk pada perpustakaan maya di internet. “Tidak ada lagi dalam kamus mereka kesulitan dalam memperoleh pengetahuan dan informasi, ” kata Dr. Onno W. Purbo (1999: 1, 110-111)

Era globalisasi yang melanda itu memberikan dampak lain, yakni meningkatnya tuntutan kualitas yang semakin tinggi untuk hampir semua segi. Para pengguna perpustakaan di negara yang sudah maju sangat keras dalam menuntut kualitas layanan perpustakaan, termasuk kualitas sumber informasinya. Berkaitan dengan pasaran kerja, era globalisasi juga memberikan dampak meningkatnya 13 tuntutan kualitas (misalnya kualifikasi pendidikan, keterampilan, keprofesian) sebagai persyaratan pegawai baru. Pendeknya, setiap orang harus siap untuk bersaing dalam persaingan bebas, sementara dalam kenyataan
belum tampak adanya kesiapan untuk itu. Kualitas SDM yang ada, termasuk SDM
angkatan kerja, masih sangat memprihatinkan. Padahal tuntutan ini akan
segera berlaku, yakni pada tahun 2003 untuk kawasan ASEAN (AFTA), 2010 untuk
kawasan Asia Pasifik (APEC), dan 2020 untuk kawasan dunia seluruhnya (WTO). Memenuhi tuntutan-tuntutan peningkatan tersebut tentu bukan hal yang mudah. Dalam konteks pengelolaan dan pelayanan informasi, misalnya, tentulah amat diharapkan dapat
dilakukan peningkatan-peningkatan, misalnya: peningkatan kualitas pustakawan/staf
perpustakaan (sebagian besar berpendidikan formal perpustakaan, dan diperoleh dari
perguruan tinggi yang terkenal/diakui kualitasnya), peningkatan kualitas sarana dan
prasarana, peningkatan sistem, dan sebagainya. Masalahnya adalah, bahwa dukungan finansial untuk hal itu semua sangat terbatas, sementara berbagai komponen biaya dan harga terus meningkat kemahalannya. Demikian pula, dengan tuntutan pelayanan prima dan cepat (instant) yang berhadapan dengan keterbatasan sarana dan fasilitas penunjang, termasuk juga keterbatasan jumlah dan mutu tenaga (SDM). Padahal pelayanan prima ini, menurut Endang Ernawati

Merupakan strategi yang jitu untuk memasarkan jasa perpustakaan, dokumentasi,
dan informasi. Dengan globalisasi juga terdapat tanda-tanda zaman yang cukup penting, yakni peningkatan kesadaran masyarakat akan hak-hak asasi mereka, termasuk hak memperoleh informasi. Informasi yang mereka butuhkan harus dapat
dipenuhi dengan cepat, tepat, lengkap, dan mudah serta murah. Mereka bahkan cenderung menuntut layanan gratis, karena perpustakaan dipandang sebagai lembaga publik yang bertugas melayani kepentingan masyarakat. Perpustakaan dibentuk dan dibiayai oleh negara untuk melayani masyarakat. Masyarakat telah membayar pajak kepada pemerintah, dan karenanya layanan oleh pemerintah bagi masyarakat harus bersifat gratis. Oleh karena itu, sulit diterima jika perpustakaan melakukan pungutan-pungutan tertentu, atau mewajibkan penggunanya untuk membayar sejumlah biaya untuk layanan yang diterimanya. Di lingkungan perpustakaan, terutama perpustakaan umum, tidak dapat diterima dalih-dalih kewirausahaan, keswadanaan, apalagi komersialisasi, sekalipun tujuannya untuk meningkatkan kualitas layanan dan
menutup biaya dan harga informasi yang semakin mahal. Dalam kelompok diskusi I_C_S, yakni kelompok diskusi antar para pustakawan dan ilmuwan komputer di Indonesia melalui internet, topik kewirausahaan atau komersialisasi perpustakaan ini pernah dibahas dan menjadi perdebatan sengit hampir selama setengah tahun, dengan kesudahannya tanpa menghasilkan kesepahaman. Kesepakatan yang ada adalah bahwa masalah tersebut perlu dicakup dalam rancangan undang-undang (RUU) tentang perpustakaan yang sedang dipersiapkan.

Warung Informasi

Perkembangan dan kemajuan TK dan TI membuka peluang usaha baru, yakni membuka warung telekomunikasi (wartel) dan warung internet (warnet), yang pada dasarnya merupakan prasarana untuk memperoleh dan/atau tukar menukar informasi, atau menurut Onno Purbo: ‘sumber daya tempat bertanya.’ Bisnis ini tampaknya akan semakin berkembang, apalagi setelah keluarnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001tersebut. Salah satu butir dalam Inpres tersebut adalah komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan wartel dan warnet, yang dikaitkan dengan upaya memperluas jangkauan dan kandungan informasi pelayanan publik, memperluas pelayanan 14 kesehatan dan pendidikan, mengembangkan
sentra-sentra pelayanan masyarakat perkotaan dan pedesaan, serta menyediakan layanan e-commerce bagi usaha kecil dan menengah. Dengan peningkatan dan pendayagunaan fungsi warnet dan wartel tersebut, tampaknya setiap warga masyarakat akan dapat dengan leluasa memperoleh informasi yang mereka perlukan, bahkan juga menjelajahi dunia informasi global, sehingga dapat memperoleh informasi yang jauh lebih lengkap dan mutakhir tanpa harus mengunjungi suatu perpustakaan secara fisik. Kendati hanya (baru) sebagian kecil warga yang mampu mengakses layanan internet ini, namun tampaknya para pustakawan tetap harus mengambil langkah-langkah antisipasi agar pelanggannya jangan lari, dan cenderung berpindah ke warnet. Langkah yang diambil bukanlah menghalangi pengguna perpustakaan mengunjungi warnet, melainkan membuka dan menyediakan layanan internet di perpustakaan. Itu berarti bahwa para pustakawan harus menguasai TK dan TI. Penguasaan dan pemberdayaan TI mutakhir, menurut Andreas Lakoiii, merupakan salah satu strategi bersaing manajemen perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan penggunanya yang cenderung meningkat, menuntut sumber informasi yang akurat, bernilai, relevan, dan tepat waktu. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah revitalisasi layanan perpustakaaniv. Sejalan dengan pengembangan warnet, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi beberapa waktu yang lalu telah meluncurkan program warung informasi juga, yakni warung informasi teknologi atau WARINTEK. Melalui warintek, dijajakan komoditi informasi yang siap pakai, seperti misalnya informasi tentang teknologi tepat guna (TTG) yang disediakan dalam bentuk CD-ROM. Dengan
demikian, melalui warintek dapat diperoleh informasi yang relatif lebih gampang dan murah, karena tidak harus membayar biaya sambungan telepon atau satelit, seperti jika mengakses informasi dalam internet. Warintek model ini dapat disebut sebagai warintek
offline. Sementara itu, melalui warintek dapat pula disajikan informasi atau data yang diangkat dari pengetahuan masyarakat setempat, atau biasa disebut local contents. Pengetahuan dan
kekayaan intelektual setempat, terutama yang masih terekam dalam ingatan nara sumber atau informan setempat, dapat dieksplorasi, untuk kemudian direkam dan disajikan dalam warintek. Demikian pula halnya dengan potensi dan keunggulan daerah, yang jugadapat disajikan dalam warintek untuk diketahui masyarakat luas. Dalam konteks promosi dan pendesiminasian informasi tentang potensi dan keunggulan daerah ini, maka pengembangan warintek ke depan perlu mengarah kepada pemasangan dalam jaringan internet, atau dapat kita sebut sebagai warintek online.

Digitalisasi Informasi

Tanda-tanda zaman terbaru yang terkait dengan pengelolaan dan pelayanan informasi adalah pengembangan perpustakaan digital (digital library), bahkan sudah dalam bentuk jaringan (digital library network). Di Indonesia ide-ide awal dikembangkan oleh para pakar TI di ITB yang tergabung dalam institusi Knowledge Management Research Group (KMRG). Hasil awal pengembangan mereka itu adalah diluncurkannya Perpustakaan Digital ITB yang diberi nama Ganesha Digital Library (GDL) pada tanggal 2 Oktober 2000 di Bandung. Peluncuran yang dilaksanakan dalam suatu Seminar Internasional itu ditindak-lanjuti dengan pertemuan
pembentukan Jaringan Perpustakaan Digital Indonesia (3-4 Oktober 2000 di Lembang, Bandung), yang antara lain menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan Jaringan Perpustakaan Digital Indonesia yang diberi nama IndonesiaDLN. IndonesiaDLN ini telah
diluncurkan pada bulan Juni 2001. 15 Pengembangan IndonesiaDLN juga menandai dimulainya tahapan baru, yakni tahap pemberdayaan koleksi lokal yang diyakini sebagai rekaman dari ilmu pengetahuan setempat (local contents). Hal ini juga dibahas dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2001
tersebut, yang dimasukkan dalam kategori pengembangan industri information content. Pengetahuan setempat yang selama ini terekam dalam ribuan naskah atau tulisan yang tidak pernah sempat dipublikasikan dianggap akan mubazir jika tidak diberdayakan melalui pemuatan naskah tersebut secara lengkap (full text) dalam Jaringan Perpustakaan Digital Indonesia itu. Tahap awal dari pengembangan IndonesiaDLN berupa kerja sama pengelolaan antara unit-unit perpustakaan yang belum mampu mengelola perpustakaan digitalnya sendiri dengan Ganesha Digital Library ITB. Tahap berikutnya, yang akan menjadi tanda-tanda zaman berikut, adalah pengembangan perpustakaan digital di masing-masing perpustakaan di seluruh Indonesia, dimulai dari perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan nasional propinsi, dan perpustakaan lainnya. Dari segi pengembangan layanan, tanda zaman terbaru adalah upaya untuk menyelenggarakan layanan perpustakaan maya keliling (virtual mobile library) yang dirintis oleh pemerintah Inggris, yakni layanan perpustakaan keliling yang bukan mengantarkan buku/koleksi perpustakaan kepada masyarakat penggunanya, melainkan mengantarkan komputer/PC agar dimanfaatkan untuk mengakses internet. Berikut ini kutipan beritanya yang dapat dibaca dari situs Kompas di internet: ”Perpustakaan mobil keliling boleh jadi dianggap barang kuno. Namun dalam rangka memasyarakatkan dunia Teknologi Informasi kepada semua orang, tidak lama lagi akan berkeliaran perpustakaan bus tingkat (double decker) di seantero Inggris. Tetapi kali ini isinya bukan buku, melainkan PC.”. . ."Tanpa mengakses komputer, masyarakat tidak akan bisa mengembangkan kemampuan mereka.". . .Proyek hasil kerja sama perusahaan Nacro Net Navigator, didukung oleh Ericsson Telephone Co., British Telecommunications PLC, dan Departemen Pendidikan Inggris ini tentu akan menandai pemberdayaan teknologi informasi demi kemanfaatan bagi masyarakat
yang tidak mampu memilikinya sendiri. Hal itu tentu akan sangat relevan dengan kondisi masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya, dan Irian Jaya pada khususnya, yang pada umumnya tidak mampu memiliki perangkat teknologi informasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 keLompok3.... All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy